Melirik Kekuatan RI-Malaysia
SAAT KETEGANGAN yang memanas antara Indonesia dengan Malaysia mengenai blok Ambalat dulu, menyebabkan pasukan kedua negara menyiapkan peralatan perangnya termasuk diantaranya kekuatan udara. Indonesia sudah menyiapkan empat buah pesawat F-16 yang siaga untuk menghadapi pesawat-pesawat tempur Malaysia.
Namun jika dilihat dari kondisi yang ada, keempat F-16 itu adalah sebagian dari 8-10 buah F-16A/B Fighting Falcon yang dimiliki Angkatan udara Indonesia. Sisanya, adalah kekuatan pesawat yang sudah uzur, yaitu 12 buah F-5E/F "Tiger II", 17 buah A-4E "Sky Hawk" (keduanya generasi pesawat tahun 1960 s.d. 1970-an), disamping pesawat tempur ringan yang masih modern, yaitu 35 buah Hawk 100/200, 9 buah Hawk Mk-53, didukung pesawat generasi perang Vietnam (1960-an), yaitu 9 buah OV-10 "Bronco". Belum diketahui, empat buah pesawat F-16A/B yang dipersiapkan TNI-AU itu benar-benar sudah siap menghadapi pesawat-pesawat tempur Malaysia.
Yang jelas, tampaknya pengerahan F-16 oleh Angkatan Udara Indonesia itu dilakukan dengan mengoptimalkan kekuatan yang ada. Pasalnya, walau Indonesia sudah memiliki empat buah pesawat tercanggih buatan Rusia, Su-30 dan Su-27, namun belum sepenuhnya dapat diandalkan. Tinggal kepada kekuatan F-16, yang itu pun menghadapi dilema persoalan suku cadang karena yang tersedia kini tinggal delapan buah dari sebelumnya 12 buah.
Persoalannya, dengan mengerahkan kekuatan "ala kadarnya" itu, pasukan Indonesia siap untuk "menghajar" pesawat-pesawat Malaysia? Apalagi, jika kemudian terjadi bentrok besar-besaran dengan Malaysia yang secara nyata memiliki pesawat tempur yang lebih memadai jumlah maupun teknologinya.
Namun mengutip keterangan Asrena Kasau, Rukma Susetya, dalam sebuah terbitan Buletin Litbang Dephankam, berbagai pesawat tempur itu secara umum hanya dengan kesiapan rata-rata 25 pesawat atau jika dipersentasikan hanya 28 persen.
Ini belum termasuk F/A-18D Hornet buatan AS yang merupakan generasi tahun 1989-1990. Pesawat-pesawat itu kelasnya sudah di atas F-16A/B yang dimiliki Angkatan Udara Indonesia berasal dari generasi tahun 1970-an.
F/A-18D diketahui merupakan generasi yang sebenarnya tandingan Su-27/Su-30 milik Indonesia, namun dalam ketegangan di Ambalat ternyata belum siap diandalkan. Malaysia boleh lebih berbesar hati, karena mereka baru saja melakukan latihan bersama pasukan udara AS (US Airforce), sekaligus mendapat pelatihan gres dari mereka, atas pengoperasian F/A-18F Super Hornet yang merupakan produk termodern milik AS.
Dalam latihan tersebut, sejumlah penerbang F/A-18D Malaysia dengan dipandu pelatih dari angkatan udara AS, mencoba F-18F milik AS dengan melakukan latihan manuver di perairan sekitar Pulau Tioman. Tampaknya, latihan inilah yang akan dijadikan bekal oleh berbagai pilot F/A-18D Malaysia, untuk menghadapi F-16A/B milik Indonesia.
Kalaupun tidak, tampaknya Malaysia "cukup" mengirimkan MiG-29 untuk menghalau F-16A/B dari Indonesia. Sebab secara teknis pun, Malaysia dikabarkan lebih siap dari suku cadang dan perlengkapan, karena selama ini mereka tak ada masalah dari biaya pembelian.
Perang laut
Sedangkan kekuatan kapal laut Indonesia yang kini menjadi andalan, yaitu tiga buah perusak kawal rudal kelas Fatahillah, sebuah kelas Ki Hajar Dewantara, serta 4 kapal cepat roket kelas Mandau (termasuk di antaranya KRI Rencong), dua buah kapal cepat torpedo (KCT) kelas Ajak, dua buah buru ranjau kelas Pulau Rengat.
Kapal tempur milik Indonesia unggul kuantitas, walau pun produknya hampir semuanya barang bekas. Malaysia memang kalah jumlah, namun memiliki kapal generasi modern.
Secara umum, sistem persenjataan kapal laut yang dimiliki Indonesia tak berbeda jauh dengan Malaysia. Misalnya, peluru kendali Exocet II, kanon otomatis Bofors 57 mm, dll. Sisanya sama seperti Malaysia, memiliki kapal pendarat tank, yang biasanya digunakan jika pasukan marinir mulai masuk perang ke pulau. Namun untuk "perang pembukaan", tentunya mengandalkan kapal perang dan pesawat tempur.
Sepintas, jika terjadi perang udara dan laut Indonesia dengan Malaysia, dengan mengerahkan kekuatan masing-masing dalam kasus Blok Ambalat, seakan mengingat kembali pada Perang Malvinas (Falkland) antara Inggris dengan Argentina.
Jika perang Indonesia melawan Malaysia kemudian terjadi, tampaknya akan lebih menonjol dari pertempuran udara, baru kemudian laut. Jika hanya secara teori, kekuatan udara Malaysia akan lebih unggul, namun di laut bisa saja Indonesia lebih unggul.
Kondisi kekuatan Inggris-Argentina tak ubahnya dengan Malaysia-Indonesia. Akankah kekuatan dan modernnya pesawat tempur Malaysia menjadi pendukung kekuatan lautnya kemudian akan menghajar dan melumpuhkan kekuatan Indonesia yang ibaratnya milik Argentina, sehingga berhasil merebut Ambalat?
Komentar
Posting Komentar