ELIT POLITIK ERA PERJUANGAN
KEMERDEKAAN
Pada
masa ini elit politik kita didominasi oleh para intelektual. Mereka umumnya
berasal dari kelas sosial “atas” dalam lingkungan sosial masyarakatnya. Ini
terjadi sebagai konsekuensi logis kebijakan politik etis pemerintah kolonial
Belanda yang hanya membolehkan kelas-kelas “tertentu” dalam masyarakat yang
dapat mengenyam pendidikan tingi. Mereka akhirnya tumbuh sebagai elit yang
mampu berfikir lebih luas dan keluar dari lingkup berpikir kelas sosial mereka
menuju penderitaan menua bangsa dan rakyatnya, yaitu belenggu penjajahan, yang
harus segera diakhiri. Mereka beralih dari anak muda inlander yang tidak tahu
apa-apa menjadi pengerak dan pelopor gerakan kemerdekaan. Muda, terdidik dan
kosmopolitan. Menjadi apa yang disebut Ali Syariati, rausan fikr, intelektual
yang tercerahkan yang menjadi penggerak revolusi. H.Agus Salim, M.H Thamrin, dr
Wahidin, dr Tjiptomangunkusumo, DR Rivai, H.O.S Cokroaminoto, Sutan Syahrir,
Muhammad Hatta, Sukarno, Tan Malaka, Muhammad Yamin, Soepomo, Kibagus
Hadikusno, Hasyim Asyari, IJ Kasimo, Muh Natsir sekedar menyebut contoh
generasi ini. Para dokter, sarjana hukum, doktorandus ekonomi, insinyur teknik,
ulama didikan Mesir dan Mekah, Arab Saudi. Mereka muncul sebagai intelektual
dan mengambil kiprah sebagai elit politik. Karena ciri intelelektualitas ini,
mereka selalu bergerak atas dasar keyakinan keyakinan normatif-idealis akan
perjuangannya. Pragmatisme mereka akan menjadi “elit baru” bila Indonesia
merdeka masih begitu kecil, untuk mengatakan tidak ada. Kondisi yang demikian
bukan menihilkan konflik diantara mereka satu sama lain. Konflik yang tercipta
lebih pada perbedaan bagaimana jalan perjuangan yang tepat menuju kemerdekaan.
Ada yang setuju koperasi, ada pula yang lebih yakin dengan non koperasi, dalam
hal membangun perjuangan vis a vis pemerintahan kolonial. Ada yang setuju
melalui penggalangan massa rakyat besar-besaran, dan ada pula yang lebih yakin
dengan membentuk kader-kader yang militan dan terdidik. Mereka berpolemik di media,
saling beradu argumen, tapi tak bertengkar satu sama lain, sehingga rakyat
meneladani bagaimana perbedaan yang mereka bangun menjadi kekuatan.
Pada
masa ini, mereka bisa membuang jauh jauh prasangka kelompok yang mengungkung
mereka. Mereka memang pada awalnya berjuang atas nama kelompok. Jawa, Ambon,
Sumatera, Selebes, Islam, Katolik, Barat, Timur dan berlainan asal. Namun
mereka bisa bersatu atas ke-Indonesia-an yang tidak lagi sloganis yang
kosmetik. Ada yang rela mundur satu, untuk maju seribu. Kesediaan kalangan
Islam untuk mencabut tujuh kata dalam Piagam Jakarta sekedar menyebut contoh,
dilakukan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang baru merdeka. Tanpa darah,
tanpa senjata. Semua hanya dengan argumen, kesatuan dan persatuan.
Bahkan
idealisme mereka tetap tercermin dalam hidup, yang menggambarkan betapa mereka
tidak jauh dari hidup masa rakyat yang banyak. H A Salim, diplomat ulung,
intelektual-ulama, menteri kabinet, hingga akhir hayatnya tetap memilih hidup
bersama rakyat di gang kecil di pingiran kwitang. Hatta muda bersumpah tidak
akan menikah sebelum Indonesia merdeka, dan itupun ia buktikan. Syahrir yang
hidup berhari-hari bersama rakyat dan para pekerja di pedalaman Garut, hanya
agar ia tahu betul dan merasakan apa yang diderita rakyatnya. Betapa rakyat,
dalam arti sesungguhnya menjadi napas dalam keseharian hidup elit ketika itu.
Namun diatas perbedaan itu, mereka bisa bahu membahu.
Komentar
Posting Komentar